Desa Teluk Pinang
di Indragiri Hilir, disana lah kampung halaman tempatku dilahirkan yang begitu
suram dan membosankan menurutku. Ya benar, ada beberapa alasan yang membuatku
berpikiran seperti itu. Tidak seperti banyaknya orang yang biasanya mengagumi
kampung halaman dan selalu berharap besar untuk segera kembali bila hidup
diperantauan orang, sebaliknya aku malah tidak berkeinginan dan mungkin hanya
sedikit rasa rindu untuk pulang ke kampung halaman.
Pertama, aku tidak
bisa menikmati listrik secara penuh 24 jam dibanding saat aku tinggal di
perantauan. Hanya 14 jam aku bisa menikmati listrik , mulai dari jam 5 sore
hingga 7 pagi. Begitu membosankan, aku tak bisa menonton acara favoritku di
televisi, belum lagi baterai handphone yang meminta untuk diisi ulang. Kedua,
tidak ada tempat hiburan yang bisa dituju. Hidup di perantauan membuat diriku
bisa mengunjungi tempat-tempat yang bisa mengganti kebosanan dengan hal yang
menyenangkan . Bila dibandingkan di kampung halamanku, aku hanya bisa
bermalas-malasan di kamar jika benar-benar tidak ada pekerjaaan yang diminta
oleh kedua orang tua. Begitu membosankannya kampung halamanku .
Kuakui memang lebih
banyak kebosanan, tapi tetap ada alasan yang membuat tubuh ini tetap kembali di
kampung halaman. Pertama tentunya kerinduan dengan kedua orang tuaku,
selanjutnya acara reuni teman-teman di saat masa putih abu-abu. Mereka bisa
menjadi hal yang menyenangkan saat aku kembali. Tentu bagi semua orang yang
hidup di perantauan orang, aku yakin itu juga menjadi alasan mereka kembali ke
kampung halaman mereka. Mereka semua tetap menjadi alasan yang kuat untuk
kembali ke desaku, desa Teluk Pinang.
Intinya meskipun
ada yang menarik desa tempatku dilahirkan, tetap lebih banyak hal yang
membosankan disana. Begitu banyak hal yang membosankan sehingga membuatku lebih
memilih tetap tinggal di perantauan . Dari soal listrik sampai masalah-masalah
kecil lainnya yang membuat kejenuhan . Begitu suramnya, aku lebih memilih tetap
tinggal di perantauan , meskipun mendapatkan jatah libur sampai 14 hari. Ya begitulah sebuah desa yang didalamnya
lebih penuh dengan kesuraman, kejenuhan dan juga kebosanan.